Skip to main content

Tubuh Kita Ini Mahal (Part 1)

Pertengahan kelas satu SMP orangtuaku menyadari sesuatu yang aneh dengan tubuhku. Aku tidak bisa berdiri tegap.

Awalnya mereka mengira karena postur tubuhku yang selalu membungkuk adalah penyebabnya, namun hal itu tertepis ketika mereka melihat sisi punggungku yang menonjol ketika aku membungkukkan badan. Merekapun membawaku ke rumah sakit orthopedi yang jaraknya sangat jauh dari rumah. Setelah melakukan x-ray kami berkonsultasi dengan dokter di sana dan beliau cepat menyimpulkan bahwa aku memiliki kelainan tulang punggung, atau lebih umum dikatakan skoliosis. Tulang punggungku membentuk huruf S dan memiliki derajad 28. Dokter mengatakan bahwa tulangku sudah tidak bisa dikembalikan lurus seperti semula, kecuali dengan menjalani operasi. Umumnya ketika angka derajad kemiringan berada di bawah 25 masih ada kesempatan untuk mengembalikannya dengan melakukan segelintir terapi, tetapi punyaku sudah melebihi 3 derajad. Jalan yang harus ku tempuh adalah dengan melakukan terapi, baik itu senam maupun hydroteraphy. Tentunya hal ini tidak akan membuat tulangku kembali ke bentuk asalnya, melainkan hanya sebagai tindakan pencegahan penambahan derajad kemiringan. Setelahnya aku dianjurkan untuk melakukan perawatan esok hari.

Keesokan harinya, aku datang ditemani papa menuju ke ruang terapi. Sebetulnya ada ruang gym di rumah sakit ini, tetapi aku dibawa ke ruang perawatan. Aku diajari berbagai macam gerakan yang biasanya aku lakukan saat pelajaran olahraga di sekolah, senam lantai. Pertemuan berikutnya, aku diperiksa oleh seorang dokter yang sudah tua dan beliau mengatakan bahwa diriku yang sedang dalam usia pertumbuhan akan mengalami gangguan seperti tinggi badan yang tidak akan bertambah banyak, pundak yang akan naik sebelah, pinggang yang akan datar sebelah, kaki yang akan panjang sebelah, dan posisi tubuh yang tidak akan berdiri dengan tegap karena akan miring ke satu sisi, serta posisi payudara yang akan berbeda sebelah. Tentunya hal ini membuatku menjadi takut akan adanya perubahan dalam diriku di mana mungkin kelak aku akan menjadi seorang yang tidak percaya diri akan bentuk tubuhku, orang-orang akan memandangku aneh karena postur tubuhku berbeda, apalagi dengan bentuk pinggang yang sangat kentara (satu sisi berliku seperti ‘S’, sisi lainnya lurus seperti ‘I’). Namun apa daya, lebih baik tahu dari awal daripada di akhir nanti ketika aku mendapatinya sendiri. Lalu aku menjalani hydrotherapy atau terapi air yaitu berenang. Sang terapis menganjurkanku untuk sering berenang dan melakukan gerakan-gerakan senam di air.

Setelah itu, papa memutuskan untuk melakukan terapi sendiri dan menambah dengan membuatkanku sebuah korset atau brace. Awalnya kami diperlihatkan sebuah alat penyangga dari besi yang dikaitkan dari leher menuju pinggul, namun ngeri rasanya membayangkan alat tersebut mengikat erat tubuhku. Meskipun harganya jauh lebih mahal, papa memutuskan untuk memilih brace dari plastik (teksturnya tebal dan kuat, dicetak menggunakan gypsum). Aku ingat betul saat proses pencetakan brace itu. Aku disuruh melepaskan bajuku, hanya meninggalkan pakaian dalam. Untungnya saat itu usiaku masih tiga belas tahun (HAHAHAH). Si bapak-yang mencetak brace-membalutkan gypsum ke tubuhku dan meratakan bentuknya dari area ketiak hingga panggul. Ia melakukannya dengan tangan kosong. Aku benar-benar bersyukur saat itu aku masih terbilang innocent dan tidak berpikir macam-macam akan tangan si bapak itu. Setelah cetakan jadi, aku disuruh mandi untuk menghilangkan sisa-sisa gypsum di tubuhku. Setelah itu, si bapak ngobrol dengan mama, ia berkata bahwa baru saja kemarin ada juga perempuan yang mencetak brace di mana usianya dua puluh satu tahun. Aku ngeri membayangkan apa yang mbak-mbak itu pikirkan dan rasakan ketika tangan si bapak membalut dan meratakan gypsum di tubuhnya.

Rumah sakitpun menelepon dan mengatakan bahwa brace-ku sudah jadi dan bisa diambil. Kalau bisa ku sebutkan harga dari brace itu sendiri kurang lebih empat juta rupiah. Tidak murah bukan? Aku benar-benar berpikir untuk tidak mengecewakan orangtuaku terutama papa yang sudah rela menyisihkan uang dalam jumlah yang besar demi diriku, demi tubuhku. Hari pertama ku lalui dengan berat hati. Aku harus memakai brace itu selama dua puluh tiga jam per hari. Itu berarti aku hanya boleh melepasnya satu jam dalam sehari, termasuk saat mandi. Pagi harinya, sebelum mengenakan seragam sekolah aku memasang brace terlebih dahulu dengan posisi tidur, hal ini dianjurkan oleh terapis. Aku pergi ke sekolah dengan mengenakan brace itu. Jujur aku merasa malu ketika berjalan menyusuri koridor menuju kelasku, aku merasa semua mata melihat diriku yang mungkin terlihat seperti robot saat berjalan. Brace itu benar-benar menyiksaku. Hampir semua teman kelasku mengetahui kondisi terbaruku dan memaklumi, bahkan ada yang cuek saja. Aku juga tidak butuh perhatian atau belas kasihan. Saat jam istirahat pertama, aku berusaha untuk makan tetapi perutku tertekan oleh brace sehingga aku merasa eneg dan mual. Setelah itu aku mulai merasa pusing karena efek perut yang terlalu tertekan. Aku memiliki satu kelemahan di mana kepala dan perutku sangat sensitif satu dengan yang lainnya. Jika salah satu sakit, maka rasa sakit itu akan menjalar. Saat di kelas aku harus duduk dengan tegap kalau tidak perutku akan semakin tertekan. Aku juga tidak bisa meraih pulpenku yang terjatuh di lantai tanpa posisi merangkak di lantai, akhirnya aku meminta tolong temanku untuk mengambilkannya. Jam istirahat kedua aku pergi ke toilet, dengan posisi berdiri aku melonggarkan kaitan brace. Rasanya sedikit lega ketika perutku tidak tertekan lagi, namun hal itu tidak berlangsung lama ketika bel berbunyi. Aku mengaitkan brace-ku kembali tetapi dengan ikatan yang sedikit ku longgarkan, padahal sebenarnya hal ini tidak diperbolehkan. Aku memakai brace ke sekolah hanya dalam waktu dua hari saja, setelah itu aku memutuskan hanya memakainya ketika di rumah saja karena di hari kedua tubuhku masih belum bisa beradaptasi, malah makin parah karena selama di sekolah aku merasa pusing dan mual. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan aku hanya mengenakan brace saat sedang duduk di meja komputer maupun meja belajar dan saat tidur di malam hari. Tak lama kemudian aku benar-benar tidak menggunakan brace itu lagi. Sumpek, panas, gerah, gatal, dan tersiksa, itu yang aku rasakan ketika tubuhku terikat dengan brace itu. Hingga akhirnya brace itu hanya menjadi sebuah barang pajangan di kamarku.

Ketika dahulu terapis mengatakan bahwa jika aku merasa nyaman dan pas saat menggunakan brace itu berarti aku harus mengganti brace-ku dengan yang baru karena bentuk tubuhku sudah berubah dan tulang punggungku semakin parah. Namun ketika empat tahun berlalu, aku mencoba menggunakannya kembali saat sedang beraktifitas di rumah dan aku masih merasakan ketidaknyamanan yang sama seperti dulu. Sampai saat ini, gabus di brace sudah mulai mengelupas bahkan ada yang sobek dan benda itu kini teronggok di dalam lemari pakaianku.

Ketika pertama kali aku mendengar bahwa aku memiliki kelainan tulang belakang, aku merasa bahwa aku adalah orang abnormal di antara orang-orang normal lainnya. Namun lambat laun aku mulai menjumpai orang-orang yang sama sepertiku, mereka tak lain adalah teman-teman sekolahku. Dari situ aku merasa bahwa aku tidak sendirian, aku punya banyak teman yang sama sepertiku, teman yang merasakan apa yang selama ini ku rasakan. Pernah terbesit di pikiranku mengapa di antara keluargaku dirikulah yang mendapatkan hal ini, namun segera ku tepis dengan pemikiran bahwa mungkin Tuhan memberiku ini karena Dia tahu aku bisa melewati dan menjalani serta menerima ini semua. Di antara keluarga kami, kelainan ini diderita oleh keluarga mama, nenek dan tanteku mengalami hal yang sama. Parahnya, tanteku baru mengetahui hal tersebut ketika ia melahirkan anak keduanya, di mana diketahui setelahnya bahwa derajad kemiringannya terbilang cukup parah.

Pada beberapa kesempatan saat mengikuti acara yang mengharuskanku untuk duduk di lantai, aku merasa sangat tersiksa. Setidaknya aku butuh sandaran di punggung untuk mengantisipasi rasa sakit akibat duduk terlalu lama. Pernah beberapa kali aku hendak mengatakan bahwa aku menderita skoliosis sehingga aku diperbolehkan untuk duduk bersandar atau bahkan istirahat sejenak dengan berdiri. Namun pemikiran itu selalu ku tepis, dengan bayangan aku tidak mau menyusahkan orang lain, aku tidak mau dianggap manja, aku tidak mau terlihat diistimewakan dengan cara diberi kursi untuk duduk, aku mau sama seperti yang lainnya, orang-orang bertulang normal lainnya.

Aku berharap tindakan operasi tidak ku lakukan. Aku takut berurusan dengan rumah sakit. Biaya operasinya pun juga tidak murah, apalagi ditambah dengan efek samping dari pasca operasi yang ku ketahui. Anak dari teman papa, dia berumur dua puluh tiga tahun dan mengeluh sesak nafas setiap hari, setelah dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa rusuknya telah mendorong dan menjepit jantung serta paru-parunya, tindakan yang diambil tak lain hanyalah operasi. Setelah itu orangtuaku berkata padaku jika aku merasakan hal serupa dengan mbak itu, segera beri tahu mereka untuk melakukan penanganan secepatnya. Sebenarnya aku pernah beberapa kali merasakan sesak nafas, tetapi aku tahu kalau hal itu merupakan efek samping dari kelainan ini, jadi aku tidak mengambil pusing dan juga tidak berpikiran macam-macam akan hal itu. Aku juga pernah membaca pengalaman seseorang di media sosial. Katanya setelah ia menjalani operasi, ia tidak bisa membungkuk bahkan jongkok karena pan yang dipasang di tulang punggungnya memaksanya untuk tetap tegak. Ia merasa bahwa dirinya sangat tersiksa, terutama pada saat pasca operasi di mana dirinya sulit untuk bergerak karena rasa sakit yang ia derita. Beberapa hari yang lalu papa tiba-tiba saja menanyakan tentang operasi ini dan aku langsung menjawabnya dengan berbagai macam cerita pengalaman orang-orang yang sudah pernah melakukannya. Aku juga bersikeras untuk tidak melakukan operasi karena aku masih ingin hidup dengan tubuhku yang bebas.

Sekarang aku tetap menjalani hidupku dengan normal-normal saja. Aku tetap berolahraga seperti berenang, badminton, maupun dance (meskipun sepertinya tidak dianjurkan). Menjaga postur punggung dengan berjalan maupun duduk dengan posisi yang baik, tegap. Tidur dengan posisi miring berlawanan dengan arah bengkok maupun tidur terlentang. Menghindari mengangkat beban yang berat, namun kadang masih saja melakukannya dengan alasan takut dinilai sok karena tidak mau membantu mengangkat barang dan hanya diam saja. Kadang juga bergerak kencang secara tiba-tiba sehingga langsung kram, terutama di bagian pinggul. Sekarang juga mencari tempat yang pas buat pilates, karena katanya melakukan pilates bisa membuat otot-otot kita jadi rileks jadi tidak gampang kram dan sakit setelah lama duduk atau berdiri, juga bagus buat kesehatan tulang belakang dan membentuk postur tubuh.

Mungkin banyak dari kita yang masih menyebut skoliosis ini sebagai sebuah penyakit, tapi aku menyebutnya sebagai pemberian dari Tuhan. Tuhan ingin menjadikan kita orang yang berbeda dengan yang lain, yang merasakan sakit karena efek samping namun tetap kuat menjalani kehidupan. Karena di hidup ini tidak ada yang diperjuangkan tanpa adanya rasa sakit, yang kita perlukan hanyalah melangkah ke depan, menyimpan atau bahkan mengabaikan rasa sakit itu dan beri tahu dunia bahwa kita menderita di dalam tetapi tetap mengibarkan semangat di luar.


"Take care of your body. It's the only place you have to live."
thingsweforget.blogspot.com 

Comments

Popular posts from this blog

Sinetron Kepompong

Sinetron keluaran Frame Ritz yang diiringi lagu Kepompong dan Gelora Asmara ini adalah sinetron yg untuk pertama kalinya aku suka, dari sinetron-sinetron sebelumnya. Mungkin karena wajah pemainnya seger-seger kali ya!! Apalagi ada itu tuh, finalis GADIS SAMPUL 2008 (Mikha Tambayong-Tasya) idolaku..^_^ Ki-ka: Aryani Fitriana, Mikha Tambayong, Derby Romero, Dinda Kirana, Tania Putri. Awal Cerita: Ada lima tante-tante yang lagi hamil dan mau ngelahirin secara bersamaan. Mereka uda bersahabat lama karena satu kompleks juga. Setelah anak mereka uda pada besar-besar, mereka juga bersahabat karib, sama seperti mamanya. Karena suatu iven tertentu, yaitu mereka mengadakan seperti pameran buku-buku yang mereka berinama "De Rainbow". Mereka langsung berpikiran bagaimana kalau mereka menamai persahabatan mereka dengan nama geng De Rainbow. De Rainbow terdiri dari Chacha (Aryani Fitriana) sebagai ketua geng, Indra ( Derby Romero), Tasya (MIkha Tambayong), Helen (Tani...